Rabu, 06 April 2011

Pelajaran Lagi, Rasa Malu Lagi, Rasa Syukur Lagi

Biasanya, begitu lewat jam 2 siang hingga menjelang Ashar, beberapa penjual makanan atau mainan mulai ramai berdatangan ke sekitar Musholla dekat rumahku. Habis Ashar akan penuh anak-anak TPQ disana yang sebagian besar masih 'usia jajan'. Biasanya juga aku mengamati mereka, anak-anak TPQ itu dan para penjual itu, dari balik jendela ruang tamu yang berkaca gelap, sehingga mungkin mereka tidak akan tahu telah aku perhatikan. Jika dulu aku pernah berkisah tentang bapak-bapak berambut keriting yang telaten dan tegar yang rela mengalah berganti barang jualan, demi pedagang lain yang membutuhkan ruang, kini ada satu lagi hal menarik yang kuambil dari bapak penjual berambut keriting lainnya. Bapak berambut keriting yang pertama tadi tampaknya sudah lumayan mapan kini dengan berjualan pizzamie mini seharga 500-an setelah pernah mencoba gedang penyet, keju-kejuan, telur goreng, telur dadar hingga sosis. Sedang bapak berambut keriting yang akan aku ceritakan kini adalah bapak-bapak (aku lebih suka memanggilnya bapak-bapak meski sebenarnya ia masih perjaka) penjual snack ringan dan mainan.

Rumahnya sekitar 1,5 km dari rumahku. Biasa datang berjalan kaki dan duduk menggelar dagangannya di depan rumahku. Ia agak pendiam dan jarang berkomunikasi dengan yang lainnya. Kuperhatikan ia suka berbicara sendiri, entah apa itu karena hampir tak bersuara (seperti nguping ya aku... tapi aku tak mendengarnya hehehe). Dagangannya tak pasti laku. Kuperhatikan sekitar 2,5 jaman ia di sana paling hanya 4 - 5 anak saja yang membelinya. Kalaupun rame, itupun belum pernah aku menemui ia mendapat pembeli lebih dari 10 anak. Dagangan yang ia bawa pun tak banyak. Semuanya cukup ia masukkan ke dalam kardus sarimi.

Cerita lain lagi tentangnya adalah soal perjalanan kaki panjangnya sekitar 8 km untuk kulakan snack dan mainan. Jarak sejauh itu ia tempuh jalan kaki. Dan tadi, aku melihatnya sendiri, sekitar di tengah-tengah jarak antara tempat kulakan dan rumahnya. Karena berjalan ke arah yang sama, aku harus menengok ke belakang untuk memastikan bahwa itu dia. Sekitar 50 meter di depannya ketika aku memutuskan untuk berhenti lalu berbalik arah menyapanya. Kutawarkan ruang belakang baginya, agar berboncengan saja denganku sampai rumahnya. Ia hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Kemudian ia mulai berbicara namun lagi-lagi aku tak tahu apa yang ia bicarakan karena hampir tak bersuara. Beberapa saat aku terdiam melihat punggungnya, dan dalam perjalanan pulangku ada banyak pertanyaan mengganjal yang aku mencoba menjawabnya sendiri...

Berapa untung yang ia dapatkan? Sementara ia hanya punya sedikit barang dagangan dan itu tidak memberikan banyak pilihan dan pancingan kepada konsumen? Kupikir mungkin ia menganggap apa yang ia lakukan jauh lebih baik daripada pengangguran-pengagguran yang menyalahkan jaman ini. Sekecil apapun ia berusaha menjadi seorang pekerja, bahkan seorang pekerja keras. 

Di tengah lelah perjalanan kaki berkilo-kilo itu, ia masih menolak ajakanku? Apakah mungkin ini untuk kestabilan. Ia tak ingin merasakan enak dibonceng olehku kali ini, sementara itu hanya akan membuatnya nyaman beberapa saat saja dan esok hari ia bakal berjalan kaki lagi...

dan, Terakhir aku tak pernah tahu pasti apa yang ia bicarakan, selain mencoba menerka tentang prasangka baiknya yang sangat kuat kepada Allah yang ia tanam dalam di hatinya, sehingga ia bisa berbahagia menjalani hal yang seperti tak mungkin bagiku itu...

Hari ini kau beri aku pelajaran lagi ya Alloh, dan aku senang kau masih memberi aku rasa malu ini, tentang perjuangan kecil yang mudah saja membuat hambamu in mengeluh, satu ucapan syukur lagi ya Alloh atas nikmat-nikmat yang memudahkanku ini....

1 komentar:

Serba Seru mengatakan...

mantap!!!!!!!!!!!!!!!

Posting Komentar