tag:blogger.com,1999:blog-88872299120832440552024-02-21T06:00:26.218-08:00Mas Doyok AggregatorPurworejo Undercoverhttp://www.blogger.com/profile/04404125502004721097noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-86991827133684443652011-05-02T21:01:00.000-07:002011-05-02T21:01:32.066-07:00Apa Yang Tidak Bisa Dilakukan Alat Penghapus URL GoogleDapat info menarik di postingan Mas Doyok berjudul: <a href="http://www.masdoyok.co.cc/2011/05/apa-yang-tidak-bisa-dilakukan-alat.html?showComment=1304395177198#c4180016109218228166">Apa Yang Tidak Bisa Dilakukan Alat Penghapus URL Google,</a> nah bagus toMbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-1679425701807450322011-04-19T23:05:00.000-07:002011-04-19T23:11:42.495-07:00Tes<a href="http://www.tokobagus.com/"><object classid="clsid:D27CDB6E-AE6D-11cf-96B8-444553540000" codebase="http://download.macromedia.com/pub/shockwave/cabs/flash/swflash.cab#version=5,0,29,0" height="115" width="520"> <param value="http://www.swfme.com/swfs/116867tokobagus-banner-(520X115).swf" name="movie"><param value="high" name="quality"><embed height="115" width="520" type="application/x-shockwave-flash" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" quality="high" src="http://www.swfme.com/swfs/116867tokobagus-banner-(520X115).swf"></object></a>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-40373084601408714432011-04-06T08:59:00.001-07:002011-04-06T08:59:21.313-07:00Pelajaran Lagi, Rasa Malu Lagi, Rasa Syukur LagiBiasanya, begitu lewat jam 2 siang hingga menjelang Ashar, beberapa penjual makanan atau mainan mulai ramai berdatangan ke sekitar Musholla dekat rumahku. Habis Ashar akan penuh anak-anak TPQ disana yang sebagian besar masih 'usia jajan'. Biasanya juga aku mengamati mereka, anak-anak TPQ itu dan para penjual itu, dari balik jendela ruang tamu yang berkaca gelap, sehingga mungkin mereka tidak akan tahu telah aku perhatikan. Jika dulu aku pernah berkisah tentang bapak-bapak berambut keriting yang telaten dan tegar yang rela mengalah berganti barang jualan, demi pedagang lain yang membutuhkan ruang, kini ada satu lagi hal menarik yang kuambil dari bapak penjual berambut keriting lainnya. Bapak berambut keriting yang pertama tadi tampaknya sudah lumayan mapan kini dengan berjualan pizzamie mini seharga 500-an setelah pernah mencoba gedang penyet, keju-kejuan, telur goreng, telur dadar hingga sosis. Sedang bapak berambut keriting yang akan aku ceritakan kini adalah bapak-bapak (aku lebih suka memanggilnya bapak-bapak meski sebenarnya ia masih perjaka) penjual snack ringan dan mainan.<br />
<br />
Rumahnya sekitar 1,5 km dari rumahku. Biasa datang berjalan kaki dan duduk menggelar dagangannya di depan rumahku. Ia agak pendiam dan jarang berkomunikasi dengan yang lainnya. Kuperhatikan ia suka berbicara sendiri, entah apa itu karena hampir tak bersuara (seperti nguping ya aku... tapi aku tak mendengarnya hehehe). Dagangannya tak pasti laku. Kuperhatikan sekitar 2,5 jaman ia di sana paling hanya 4 - 5 anak saja yang membelinya. Kalaupun rame, itupun belum pernah aku menemui ia mendapat pembeli lebih dari 10 anak. Dagangan yang ia bawa pun tak banyak. Semuanya cukup ia masukkan ke dalam kardus sarimi.<br />
<br />
Cerita lain lagi tentangnya adalah soal perjalanan kaki panjangnya sekitar 8 km untuk kulakan snack dan mainan. Jarak sejauh itu ia tempuh jalan kaki. Dan tadi, aku melihatnya sendiri, sekitar di tengah-tengah jarak antara tempat kulakan dan rumahnya. Karena berjalan ke arah yang sama, aku harus menengok ke belakang untuk memastikan bahwa itu dia. Sekitar 50 meter di depannya ketika aku memutuskan untuk berhenti lalu berbalik arah menyapanya. Kutawarkan ruang belakang baginya, agar berboncengan saja denganku sampai rumahnya. Ia hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Kemudian ia mulai berbicara namun lagi-lagi aku tak tahu apa yang ia bicarakan karena hampir tak bersuara. Beberapa saat aku terdiam melihat punggungnya, dan dalam perjalanan pulangku ada banyak pertanyaan mengganjal yang aku mencoba menjawabnya sendiri...<br />
<br />
<em>Berapa untung yang ia dapatkan? Sementara ia hanya punya sedikit barang dagangan dan itu tidak memberikan banyak pilihan dan pancingan kepada konsumen?</em> Kupikir mungkin ia menganggap apa yang ia lakukan jauh lebih baik daripada pengangguran-pengagguran yang menyalahkan jaman ini. Sekecil apapun ia berusaha menjadi seorang pekerja, bahkan seorang pekerja keras.<em> </em><br />
<br />
<em>Di tengah lelah perjalanan kaki berkilo-kilo itu, ia masih menolak ajakanku?</em> Apakah mungkin ini untuk kestabilan. Ia tak ingin merasakan enak dibonceng olehku kali ini, sementara itu hanya akan membuatnya nyaman beberapa saat saja dan esok hari ia bakal berjalan kaki lagi...<br />
<br />
<em>dan, Terakhir aku tak pernah tahu pasti apa yang ia bicarakan,</em> selain mencoba menerka tentang prasangka baiknya yang sangat kuat kepada Allah yang ia tanam dalam di hatinya, sehingga ia bisa berbahagia menjalani hal yang seperti tak mungkin bagiku itu...<br />
<br />
Hari ini kau beri aku pelajaran lagi ya Alloh, dan aku senang kau masih memberi aku rasa malu ini, tentang perjuangan kecil yang mudah saja membuat hambamu in mengeluh, satu ucapan syukur lagi ya Alloh atas nikmat-nikmat yang memudahkanku ini....MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-84738073506480729302011-04-06T08:58:00.001-07:002011-04-06T08:58:33.154-07:00Doel... Doe... Mbek Wong Mbeng...<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Doel menguap lebar. Malam ini dia kesepian. Kamarnya sepi, dia sendirian. Lima orang yang biasanya juga menghuni kamar itu semuanya mendapat panggilan dan sepertinya akan kena denda. Paling tidak denda membaca Yaasin 3 kali atau Waqi'ah 3 kali. Doel mulai bosan dengan kesendiriannya. Mengambil novel dan buku catatannya, kemudian ngeloyor pergi keluar kamar, berlagak tenang tersenyum kepada petugas jaga. Ia keluar gerbang...<br />
<br />
Sebenarnya ia gundah. Kegundahan itu lebih dikarenakan rasa laparnya. Dalam kesendirian saura keroncong perut itu makin jelas dan mensugesti bahwa ia kudu segera makan. Ia melirik saku kemeja batiknya, ada satu lembar dua puluh ribuan dan beberapa lembar ribuan. <em>Ah, cukup...</em> pikirnya. Doel segera menuju pusat kuliner terdekat. Sesampai disana sudah sepi, hanya tersisa dua tenda saja yang sama-sama menjajakan Ayam Goreng, Pecel Lele dan Nasi Goreng. Tak lama berpikir, ia memilih ke tenda yang berwarna biru. Doel memang lebih sering makan disana.<br />
<br />
Sesampai disana ia langsung disambut seorang mbak-mbak usia SMA. Menanyakan menu yang akan di pesannya. Namun Doel malah balik bertanya, <em>Ayam Goreng Berapa?</em>. Pelayan itu menerangkan harganya dan Doel mengangguk setuju. "<em>Minumnya Es Jeruk"</em>, tambah Doel ketika pelayan itu sedang akan beranjak pergi.<br />
<br />
Sambil menunggu pelayan itu membuat pesanannya Doel memilih tempat duduk lesehan. Tapi, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Doel mengenalnya dan segera menghampirinya. Dia adalah lelaki desa tetangga. Lelaki yang dikabarkan agak <em>miring</em> karena pernah mencari kekebalan. Dipinjamnya novel dan buku catatan itu. Ia membacanya terbalik. Doel mengarahkan membenarkannya. Dan mulailah terjadi percakapan dianatara mereka...<br />
<br />
"Dari mana kok sampai sini mas?", tanya Doel ramah.<br />
Lelaki itu masih sibuk dengan buku catatan Doel. Membalik-balik beberapa halaman dan tiba-tiba berkata, "Saya nggak bisa baca bahasa Arab. Bisanya Bismillah sama Alhamdulillah saja."<br />
"La, dulu kan pernah ngaji mas...", jawab Doel sabar meski pertanyaannya tadi tak dijawab.<br />
"Kalau ngaji memang pernah.. tapi selalu lupa...", jawab lelaki itu.<br />
"Ya biasalah mas, karena sudah tua..."<br />
"Sudah tua ya saya mas?"<br />
Doel agak kaget dengan pertanyaan itu namun berusaha tetap tenang. Tadi dia menjawab enteng karena memang lelaki di depannya itu sudah tua dan pantas memiliki cucu. Sebenarnya lelaki ini juga bisa diajak ngobrol. Doel juga selalu menyapanya saat berpapasan. Hanya saja, kata orang dia sering kumat dan jadi nggak jelas. Tapi Doel masih tidak memperdulikan gosip itu dan meneruskan ngobrolnya. Suasana canggung karena pertanyaan tadi berkurang karena pelayan tadi kini menghidangkan pesanan Doel. Doel menawari lelaki itu tapi ia menolaknya.<br />
<br />
"Sudah tua ya saya?", lelaki itu mengulangi.<br />
"Ya sepertinya sih begitu...", jawab Doel. "Tapi yang penting kan ngajinya itu terus mas...", sambung Doel.<br />
Lelaki itu diam menerawang beberapa saat sebelum akhirnya berkata lagi, "Saya sudah gak pernah ngaji he mas..."<br />
"Ya ngaji lagi to mas..."<br />
"Ya tapi gampang lupa lagi mas. Sangat pelupa."<br />
"Yang penting kan ngajinya terus mas, masalah lupa gak papa... <em>Sak Kersane Gusti Alloh</em> to?", Doel menjawab sambil melahap ayam gorengnya. Tapi ternyata jawaban itulah yang membangkitkan kekumatan lawan bicaranya itu. Lelaki di depannya itu memang sering sekali mengucap '<em>Sak Kersane Gusti Alloh' </em>Kini lelaki itu mulai mengelus-elus jidatnya yang menghitam. Entah karena sering Sholat (<em>walau</em> kata Orang dia gak bisa Sholat) atau karena alasan lain.<em> </em><br />
"Oh gitu ya mas...", jawab lelaki itu setelah lama terdiam.<br />
"Iya mas, ikut aja pengajian kan sekarang sudah banyak... apalagi disini, hampir setiap hari ada..."<br />
"Eh mas, Alhamdulillah itu apa to sebenarnya?"<br />
"Alhamdulillah ya untuk memuji bersyukur kepada Alloh mas..."<br />
"Jadi nek kita bilang Alhamdulillah itu berarti bersyukur ya mas?"<br />
Doel diam sejenak memperhatikan lawan bicaranya yang kini terlihat sangat serius. "Nek kita mau bersyukur kita bilang Alhamdulillah mas... hehehe", jawab Doel sambil tertawa.<br />
"Gitu ya? Kalau bismillah mas? Kalau bismillah?" lawan bicaranya itu semakin semangat. "Dengan menyebut apa itu mas? Menyebut nama Alloh ya mas...." lelaki itu mencoba menjawab sendiri.<br />
"Ya itu mas betul. Kalau mau melakukan sesuatu ya bismillah dulu. Biar berkah. Nah sebelum ngelakuinnya Bismillah, kalau sudah <em>rampung</em> Alhamdulillah.", jawab Doel sabar.<br />
"Oh gitu ya... kalau gitu besok aku gitu ah mas... kalau Ar Rohman Ar Rohim mas?"<br />
"Itu sifat-sifat Alloh mas. Alloh sangat sayang pada makhluknya. Ia mengasihi kita mas... Makanya mas ayo ngaji lagi biar tahu lebih banyak... kalau dari saya kan terbatas...."<br />
<br />
Lelaki itu diam seperti tak memperhatikan perkataan terakhir Doel. Kembali mengusap-usap jidatnya yang menghitam. Beberapa saat... Sementara Doel melanjutkan makannya... Dan sesekali <em>nyruput</em> es jeruk di depannya. Pelayan yang tadi mengantar makanan kini duduk di dekat mereka dan jelas sekali dari tadi ia telah mendengarkan. Mungkin ia pengen tahu lebih jelas.<br />
<br />
"Mas... saya itu sering mendengar di sini", lelaki itu mulai berbicara sambil menunjuk jidatnya, kemudian meneruskan lagi perkataannya, "Saya sering dengar Alloh bicara kepada saya. Tapi dengan nama lain. Alloh memangil manggil saya dengan nama Herlina mas... Sering sekali berbisik-bisik kepada saya... Emang Alloh bicara kepada saya ya mas?"<br />
"Alloh kan bicaranya lewat Al Quran mas...", Doel menjawab cepat kemudian diam. Sebenarnya dia sudah sadar bahwa lawan bicaranya ini mulai kumat. "Itu tandanya mas mesti baca <em>Laailahaillalloh Muahammadurrosululloh</em> mas...", sambung Doel.<br />
"Gitu ya mas... kalau itu saya bisa...", jawab si lelaki polos.<br />
"Nah, bagus kalau gitu mas.... yang banyak mas..."<br />
"Tapi sebenarnya Alloh itu apa sih mas? Saya pernah ngaji sama mbah Wahid dan tanya itu."<br />
Doel makin bingung menanggapi orang di depannya ini. Dan hanya balik bertanya, "La kata mbah Wahid gimana?"<br />
"Alloh itu yang menciptakan langit dan bumi seisinya mas..."<br />
"<em>nah,</em> itu betul... bener yang dikatakan mbah Wahid ", Doel mengambil titik aman.<br />
"Alloh itu bahasa arab ya mas?"<br />
"Alloh itu ada di bahasa apa saja mas..."<br />
"La kalau di arab kan Alloh kalau di jawa Gusti..."<br />
"Gusti Alloh....", potong Doel. "Jadi ya setiap hari mas bilang saja, Alloh Alloh Alloh Alloh terus... yang banyak ..."<br />
"Oiya iya iya.... Gusti Alloh itu pemimpin dunia ya mas? La di tv Obama juga pemimpin dunia.. gimana itu mas... eh Obama ya mas?"<br />
"Kalau Obama pemimpin Dunia ndak papa mas... tapi Gusti Alloh itu pemimpin dunia, akherat dan juga pemimpin Obama...", jawab Doel sambil tertawa.<br />
"ow... jadi Obamanya kalah ya..."<br />
"Nah, betul...."<br />
<br />
Lelaki itu manggut-manggut tapi kemudian mulai menerawang, sementara Doel mulai gelisah dengan pertanyaan seperti itu.<br />
"Eh mas, saya pernah dapat bisikan dari Alloh bahwa saya itu pemimpin dunia... bisik-bisik gitu terus mas...", lelaki itu masih terus bertanya lagi.<br />
"kalau dengar bisikan gimana mas?"<br />
"Oiya... <em>Laailahaillalloh Muhammadurrosululloh...</em>", lelaki itu tersenyum puas masih tetap mengusap-usap jidatnya.<br />
Doel sedikit lega, dan piringnya juga telah kosong. Dihabiskannya es jeruknya. Kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya.<br />
<br />
"Kok disini emang dari mana mas", tanya Doel...<br />
"<em>Kersane Gusti Alloh</em> mas saya disini..."Doel manggut-manggut dan diam saja. Beberapa saat keduanya diam, sementara mbak pelayan tadi masih asyik memperhatikan mereka berdua.<br />
"Saya mau pulang dulu ya mas... Mau bareng?", Doel menawarkan...<br />
"<em>Kersane Gusti Alloh</em> mas saya masih disini...", jawabnya lagi.<br />
"<em>O nggeh pun,</em> saya pamit dulu ya mas..."<br />
Doel membayar kepada pelayan itu, tersenyum kepada lelaki dan pelayan itu. Keduanya membalas senyum Doel. Kemudian doel cepat-cepat pergi, bersama rasa gundahnya...</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-52783746348774577402011-04-06T08:57:00.003-07:002011-04-06T08:57:54.524-07:00Terserah Halaman Berapa Kang, E... Hok<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Tidak seperti kelas-kelas yang lain yang cenderung diam, kelas ini lebih ramai. Ada beberapa orang anak kyai disini, dan sepertinya semuanya memang <em>nyeleneh</em>. Salah satunya Tasyim. Terbiasa tidur di tengah pelajaran dan hobi men-<em>tashrif</em> nama ustadznya keras-keras. Salah satu sahabat karibnya yang sering menemaninya ngobrol, begadang ngopi hingga <em>minggat</em> dari pondok bernama Qilal. Seperti hari-hari sebelumnya dan mungkin juga hari-hari berikutnya, mereka bergurau di belakang sementara sang ustadz memulai pelajaran.<br />
<br />
<em>Ehm,</em> tampaknya ustadz yang biasanya berhalangan hadir dan harus digantikan salah seorang ustadz baru yang terlihat masih canggung.<br />
"Saya cuma menggantikan disini... <em>geh,</em> mungkin nanti banyak kekurangan jadi sebelumnya <em>nyuwun ngapunten</em>.", ustadz itu berbicara di depan, suaranya pelan dan sopan. Diam sejenak tidak memandang santrinya dan hanya memandang ke bawah saja, tapi kemudian melanjutkan, "Jadi saya tidak akan melanjutkan pelajarannya. Lebih baik kita mengulang saja yang sudah-sudah. <em>Njenengan</em> membaca kitabnya dan saya <em>nyemak</em>."<br />
<br />
Dan para santri hanya menjawab "<em>Geh,</em> pak..."<br />
<br />
Sang ustadz mulai melanjutkan lagi bicaranya, "Ustadz Habib tidak bisa hadir karena harus <em>nderekke</em> mbah Kyai, jadi saya mengantikannya." Kali ini dia memberanikan diri menatap santri-santri <em>dadakan</em> nya. Memandang wajahnya satu persatu, kemudian tertarik pda salah satu sosok. "Mas Tasyim, coba <em>njenengan</em> baca kitabnya."<br />
<br />
Tasyim yang memang sibuk sendiri bingung beberapa saat. Kitab gundulannya memang benar-benar <em>digundulin</em> . saat ustadz mendikte maknanya, ia jarang mengisinya. Ia hanya membolak-balik kitabnya beberapa saat.<br />
<br />
"Ayo, <em>monggo</em> dibaca. Terserah halaman berapa...", sang ustadz memerintahnya halus.<br />
<br />
Sebenarnya ini yang ia tunggu-tunggu. Wajahnya berbinar ketika mendengar ustadznya <em>ngendikan</em> 'Terserah Halaman Berapa'. Tasyim segera membuka halaman 7. Membacanya dengan lancar beserta makna per katanya. Sang Ustadz tampak puas. Sementara Qosim dan teman-temannya tertawa <em>cekikian</em>. Ustadz yang masih baru ini sepertinya belum tahu kalau kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi. Halaman 7 adalah halaman favoritnya yang memang di hafalnya. Sebagai senjata untuk saat-saat kepepet seperti ini. Pernah juga saat ia mendapat tugas membaca bagian yang lain, ia menawar untuk membaca halaman 7 dengan alasan ia ingin memahaminya lagi. Tasyim <em>cengangas-cengenges</em>.<br />
<br />
Sang ustadz masih menyisakan senyumnya, namun kemudian berkata, "Ayo karena sudah berhasil membaca, sekarang silahkan Mas Tasyim pilih salah satu temannya untuk menerangkan...". Seperti ustadznya, tasyim juga masih tersenyum. "Dan... boleh memilih hukuman apa bagi yang tidak bisa...", tambah ustadznya.<br />
<br />
"<em>ehm...", </em>Tasyim berpikir sejenak sembari memandang teman-temannya. Kemudian berkata, "Qilal pak, dia yang paling tua dan paling pinter. Hukumannya berdiri 5 menit kalau tidak bisa."<br />
<br />
Sang ustadz mengalihkan pandangannya kepada Qilal. "Oke mas Qilal. <em>Monggo</em> diterangkan."<br />
<br />
Qilal memandang tasyim dan hanya berkata, "E...hok...". Sementara Tasyim hanya membalsa dengan tawa kemenangan. Satu menit dua menit hingga beberapa menit Qilal hanya diam saja karena ia kesulitan menerangkan masalah pelajaran tauhid ini.<br />
<br />
Dan dengan tawa yang semakin lebar Tasyim nyeletuk, "E...hok... saatnya hukuman dijalankan pak... 5 menit..."<br />
"Sesuai perjanjian, ayo mas Qilal... berdiri 5 menit", meski memberikan hukuman namun suara sang ustadz tetap terjaga halus dan sopan.<br />
Qilal meletakkan kitabnya di dampar, dengan enggan ia terpaksa berdiri dan lagi-lagi berkata, "Tasyim.... E... hok..."<br />
<br />
Pelajaran kembali berlangsung dan Tasyim masih memegang kendali karena ia tadi berhasil membaca. ustadznya kembali memintanya menunjuk temannya. Sekitar separuh kelas kena tunjukannya dan semuanya tidak berhasil menjelaskan dengan memuaskan. Dan semuanya juga harus menerima hukuman berdiri 5 menit. Senyum kemenangan tasyim semakin menjadi-jadi.<br />
<br />
"Mas Tasyim..", ustadznya kembali mengalihkan perhatian ke Tasyim. "Jadi... belum ada yang bener ya?"<br />
"Belum pak... ", jawab tasyim mantap...<br />
"<em>ehm...</em> kalau begitu sekarang <em>njenengan</em> saja yang menerangkan...!", sang ustadz memerintah.<br />
<br />
Tasyim kaget karena tidak megnira ia akan kena tunjuk lagi. Ia hanya menghafalkan ma'nanya saja. Dan bahasa indah kitab yang tiap kalimatnya terkesan berbolak-balik itu menyusahkannya untuk merangkai kalimat yang tepat. Ia menemui 'keadaan' yang sebelumnya ia ciptakan untuk teman-temannya... Dengan pasrah ia menjawab, "Saya... saya juga tidak <em>ngerti</em> pak."<br />
<br />
Sang ustadz yang masih baru dan dianggap remeh tiu ternyata jauh di atas pikiran Tasyim. Ia sudah menyiapkan suatu rencana terhadap Tasyim. "<em>O....</em>", sang ustadz gantian membuat ekspresi kemenangan dan kemudian memerintah, "Kalau begitu sekarang <em>njenengan </em>yang harus berdiri. Bukan 5 menit... tapi sampai pelajaran ini selesai..."<br />
<br />
Seisi kelas tertawa. Tasyim berdiri, terlihat memperhatikan jam. '<em>Ah, masih seperempat jam lagi'</em> pikirnya. Kemudian ia berkata keras-keras "E....hok...". Tasyim harus melewati sisa pelajaran ini dengan berdiri. Ustadnya akan menjelaskan masalah tauhid ini, dan mungkin saja... dengan berdiri justru Tasyim akan lebih mudah menerimanya....<br />
<br />
---------------------------------------<br />
<em>Pokokmen,</em> E... Hok... hehehe</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-87357664439122906702011-04-06T08:57:00.001-07:002011-04-06T08:57:14.007-07:00Sawi I'm In Love, Kisah Cinta di Pesantren<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Hasyim termenung. Kini pikirannya kabur, namun kitab itu masih bertahan di tangannya dan tetap terbuka. Ia sedang mencoba menghafal. Besok <em>setoran</em> (maju menghadap guru, melafalkan hafalan yang ditugaskannya). Namun, ia merasa kesulitan malam ini. Pikirannya kabur, dan tiba-tiba saja ia teringat pengalamannya beberapa tahun yang lalu. Saat ia masih tingkat satu.<br />
<br />
-----<br />
<br />
Sebentar lagi setengah sepuluh. Para santri berkeringat. Hari ini jadwal setoran. Hampir semuanya berkeringat dan menampakkan ketidak siapannya. Ustadz yang satu agak 'tegaan' memberikan hukuman bagi yang tidak hafal. Pernah suatu kali salah satu teman Hasyim dihukum untuk merapikan sandal satu pondok yang tentu saja jumlahnya ratusan pasang. Belum lagi hukuman-hukuman lain seperti hormat di tengah lapangan atau berendam di kolam. Pernah juga ada yang mendapat hukuman menghitung jumlah paving di halaman utama pondok yang cukup luas. Lebih luas dari lapangan futsal. Sampai pelajaran selesai ia tidak juga berhasil menghitungnya. Kadang-kadang para santri berfikir, mengapa harus Ustadz yang satu ini yang menangani hafalan... <em>Uhhh... </em>tapi mengeluh tak meredakan ketegangan mereka.<br />
<br />
Setengah sepuluh lebih lima menit. Sang Ustadz datang. Para santri seketika diam dan menutup kitab mereka masing-masing.<br />
"Tidak boleh ada lagi yang menghafalkan disini, atau akan kena denda", kalimat pertama ustadz ini semakin membuat Santri deg degan. Hukuman apa lagi hari ini? Pikir mereka.<br />
<br />
Ustadz itu memanggil mereka secara acak dan juga memberikan bagian hafalan dengan undian. <em>Jadi, </em>tidak ada pilihan lain selain mereka memang harus menghafal satu kitab. Satu persatu maju. Semuanya maju dengan wajah yang berkeringat dingin. Namun sebagian besar kembali dengan senyum karena mereka melaluinya dengan mulus.<br />
<br />
Tibalah saatnya Ali, salah satu teman senagkatan hasyim. Pendek, hitam dan sudah <em>nunggak</em> beberapa kali. umurnya sudah tua namun ia masih tetap bersemangat menuntut ilmu. meski lagi-lagi tahun ini harus belajar di tingkat satu. Seperti telah diperkirakan Hasyim dan juga teman-temannya. Hari ini Ali gagal lagi.<br />
"Kamu duduk dulu Li di belakang... balik dulu sana...", perintah ustadznya dan Ali dengan sopan menurut. "Sekarang yang terakhir... Hasyim...", sambung Ustadznya. <em>ya</em> Hasyim tak dapat menolaknya lagi. Memang tinggal ia satu-satunya yang belum mendapatkan giliran. Keringatnya menetes deras.<br />
<br />
Dengan memaksakan tekad ia maju kedepan. Mengambil undian kemudian membuka kitabnya. Sang Ustadz sibuk dengan rokoknya, namun terlihat siaga untuk menyimak. Hasyim mulai membaca, namun tak ada suara yang keluar. Ternyata mentalnya tak cukup kuat dan beban menjadi santri yang maju paling akhir ternyata terasa sangat berat. Hafalan yang memang belum benar-benar <em>ngelotok</em> itu hilang seketika.<br />
<br />
"Ayoooo Syim, dibaca... kok malah diam kamu itu...", sang Ustadz kini memperhatikan Hasyim.<br />
Hasyim mencoba membaca lagi namun kembali tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Kini matanya mulai merah. Entah karena ia merasa malu berat atau karena memang ia merasa tak akan mampu lagi terhindar dari hukuman. Sang Ustadz melihat perubahan di matanya itu...<br />
"Owalah... kok <em>mbrambang...</em> gak bisa gak apa-apa...", sang Ustadz berbicara santai. Perkataan itu menenangkan Hasyim beberapa saat sebelum akhirnya sang ustadz melanjutkan perkataannya, "Gak bisa gak papa, tapi ya dihukum..." ustadz yang satu ini memang tak pandang bulu. <em>Show Must Go on. </em>Hukuman itu harus tetap di jalani.<br />
<br />
"Li..., sini kamu...", Ustadz tadi memanggil Ali. "Kamu sama Hasyim sekarang ke pohon Sawo... kalian peluk pohon Syawo itu berhadapan. Sampai tangan kalian bisa saling pegangan...."<br />
Seisi kelas gerrrrrr.... Ada saja ide kreatif sang Ustadz. Hasyim sama dengan Ali. Hanya bisa menurut. Keduanya keluar dari Mushola Pondok yang memang menjadi tempat ngaji itu. Meski terpaksa keduanya mencoba ikhlas menjalani hukuman itu. Berhadapan memeluk pohon Sawo yang <em>konon</em> telah ada sebelum Pondok ini dibangun. Tangan mereka saling berpegangan.<br />
<br />
Semakin siang dan semakin panas. Matahari nakal menggoda keduanya yang sudah harus menjalani hukuman. Keduanya semakin berkeringat namun mesti tetap bertahan dalam posenya masing-masing. Sang Ustadz lebih memilih meneruskan pelajaran daripada memberikan keringan dan menyuruh mereka berteduh....<br />
<br />
Siang itu... Hasyim dan Ali merasakan cinta yang luar biasa. Mereka hanya dibatasi oleh pohon Sawo keramat yang tentunya menjadi saksi cinta-cinta yang lain.<br />
<br />
---------------------------------------------------<br />
<br />
Hasyim terperanjat dari lamunannya. Seseorang menepuk pundaknya sehingga mengusik lamunannya itu. Ia hafal betul sosok itu. Di balik wajahnya yang hitam mengkilat ada senyum yang ikhlas, kemudian sosok itu berkata, "Ayo <em>mbakar </em>Telo... baru saja aku cabut dari kebunnya mbah kyai..."<br />
<br />
------------------------------------------------------------<br />
<br />
NB: jadi teringat dan trenyuh... inget sekali kata salah satuguru saya...<br />
"Ilmu kuwi iso mlebu lewat opo wahe... ora mesti pas kowe sinau terus langsung mlebu... sing penting usaha lan usaha terus... kadang ilmu kuwi dilebokke pas kowe keno dendo... dadi yo kabeh dilakoni wahe kanti Ikhlas..."<br />
<br />
Amiiiiiiin</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-51052302296511419762011-04-06T08:56:00.001-07:002011-04-06T08:56:19.520-07:00Siapa Mau Dapat Berkahnya Pak Ustadz?Hidup di pondok memang terbiasa makan seadanya. Istilah 4 Sehat 5 Sempurna itu cukup di tanamkan dan dimantapkan saja di dalam hati. Kadang mereka makan dengan nasi saja dan tanpa lauk. Kadang mereka makan lauk saja atau sayur saja dan tanpa nasi. Yang pasti semuanya terasa enak karena biasanya dimakan bersama dengan <em>tembor</em> (sejenis nampan bundar, nasinya di masukka ke nampan tersebut kemudian beberapa santri mengelilinginya dan makan bersama).<br />
<br />
Namun, kadangkala juga para santri urunan untuk membeli makan yang lebih enak. Seperti malam itu dalam rangka mensyukuri khataman kitab, mereka mengadakan acara <em>mayor</em> kelas dengan mengundang sang Ustadz kitab tersebut. Judul undangan pun di buat wah agar semuanya datang, <em>'Malam ini kita makan ayam..'</em><br />
<br />
Akhirnya waktunya telah tiba dan masakan telah siap. Kemudian nasi serta masakannya dibagi rata ke dalam 5 tembor besar. Kelas itu terdiri dari sekitar 20 orang. Tasyim, Qilal dan salah satu anak kyai yang lain ditambah ustadz undangan mereka, diberi jatah untuk makan dalam satu tembor<em>. </em>Sementara 4 tembor lain tidak ada aturan, dan santri yang tersisa bebas memilih yang mana saja. Setiap tembor dinikmati 4 hingga 5 orang. Tasyim, Qilal dipisahkan bersama ustadz mereka tentu karena dengan bermaksud memberikan penghormatan pada putro kyai dan ustadz mereka itu.<br />
<br />
Setelah membaca bismillah, mereka semua mulai menikmati masakan malam itu 'yang ternyata' lebih didominasi tahu. Memang ada daging ayam sesuai yang dijanjikan, namun sangat lah sedikit (maklum, menurut sang ketua kelas anggaran tidak cukup...hehehe). Tasyim dan Qilal segera berebut mencari daging ayam yang terbatas itu. Sang Ustadz yang tentu lebih berpengalaman pun tak mau kalah. Jadilah pergelutan sengit malam itu. Tidak berapa lama kemudian ustadz mereka ngeloyor pergi...<br />
<br />
"Wah, pengalaman tenan... tahu aja ayamnya udah habis... tinggal tahunya saja", bisik Tasyim pada Qilal begitu sang ustadz pergi. Tasyim melirik ke kelompok sebelah dan terlihat semuanya sudah hampir habis. Sementara bagian kelompoknya masih banyak, nasi masih menggunung dan kini tinggal 3 orang yang harus menghabiskan.<br />
<br />
"Gimana ini Lal?", tanya Tasyim pada Qilal dengan berbisik.<br />
"Sudah tenang saja, aku tahu caranya", Qilal santai menjawab sambil beranjak berdiri. Kemudian ia berkata keras-keras, "Siapa yang mau berkahnya pak Ustadz... bekasnya pak Ustadz ini lo, hafalan pasti bisa tambah <em>ngelotok</em>..."<br />
<br />
Mendengar begitu santri-santri yang lain segera berebut pindah ke Tembor mereka. Qilal ngeloyor pergi sambil memegang perutnya... dan tasyim pun menyusulnya.....MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-25113800249675439882011-04-06T08:55:00.001-07:002011-04-06T08:55:29.567-07:00Cak Dayat Jadi Tim Sukses, Telur Dadar Bonus Stiker<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Cak Dayat. Namanya memang mirip dengan saya. Penjual telur puyuh dadar keliling. Kadang-kadang jadi penjual mainan. Dan di masa kampanye bupati kemarin merangkap jadi tim sukses salah seorang pasangan calon bupati.<br />
<br />
Biasanya ia jualan dengan penampilan pas-pasan, tapi kini mulai necis. Mengenakan atribut lengkap. Kaos bergambar pasangan bupati hingga topi. Ditambah lagi gerobaknya ditempeli sticker yang bergambar sama dengan kaos dan topinya. Sebagai salah satu tim sukses pasangan calon tentu ia berusaha menoreh prestasi agar mendapat 'kepyuran' jika calonnya jadi nanti, atau mungkin bahkan lebih jauh lagi ia bisa diangkat jadi 'pengurus' partai.<br />
<br />
Cak Dayat menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Menunjukkan ia kader yang berbobot. Melakukan beberapa terobosan dalam usaha jualannya. Termasuk memberikan bonus sticker bergambar pasangan calon untuk setiap pembelian berapapun jumlahnya (kadang-kadang dikasih gratis juga sih... hehehe). Dan satu lagi terobosan hebat beli lima bonus satu telur puyuh dadar lagi... Weleeeeeh secara ia tim sukses calon pasnagan bupati nomer 5. Untung saja gak calon pasangan yang nomer satu cak....</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-7389586612669489052011-04-05T01:57:00.001-07:002011-04-05T01:57:34.325-07:00Ngabsen MayitMalem Jum'at. Banyak orang yang memilih hari spesial ini untuk menyendiri di makam. Berdoa kepada Gusti Alloh. Merasakan kenikmatan di tengah sepi malam, dengan jari-jari yang terus memutar tasbih. Tak terkecuali Qilal...<br />
<br />
Sekitar jam 1 malam lebih, ia datang bersama Qosim. Masih saudaranya. Keduanya termasuk orang yang <em>kendel</em> alias berani. Seringkali berziarah bersama-sama tengah malam di makam yang sepi...<br />
<br />
Keduanya telah berjongkok berhadapan di depan makam leluhur mereka. Qosim mulai membaca tahlil, sementara Qilal hanya celingak-celinguk memandang ke segala penjuru makam. Qosim berhenti tahlilan sejenak, kemudian memperhatikan saudaranya itu...<br />
<br />
Sadar diperhatikan, Qilal menjawab singkat, "Aku mau cari makam mbahku yang lain...."<br />
<br />
Setelah berkata singkat, Qilal berdiri... kemudian mulai menyoroti nama di nisan makam satu persatu. Dari pojok kuburan satu ke pojok yang lain. Uniknya lagi, dia mengucapksn namanya keras-keras seperti guru yang mengabsen muridnya di kelas...<br />
<br />
Jadilah malam itu, cahaya senter kecil melompat-lompat dari satu nisan ke nisan yang lain, diikuti suara menyebut-nyebut nama orang yang tak diketahui asalnya karena gelapnya malam... Qosim hanya bisa geleng-geleng kemudian melanjutkan tahlilannya...<br />
<br />
Seseorang mendekati Qilal yang masih sibuk menyoroti nisan-nisan yang lain. Menepuk bahu Qilal kemudian berkata, "Stress... Mayit kok diabsen...". Qilal cuma bisa meringis... Ternyata Doel sudah lebih dulu ada disana sebelum ia dan Qosim datang....MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-41226956945267048982011-04-05T01:56:00.001-07:002011-04-05T02:01:17.068-07:00Angka 13<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://images.fariedkurniadi.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Sc2ctgoKCtgAAB7i5nk1/today-13.JPG?et=TVJTgb99ChKUBhAh1hytrA&nmid=0" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="http://images.fariedkurniadi.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Sc2ctgoKCtgAAB7i5nk1/today-13.JPG?et=TVJTgb99ChKUBhAh1hytrA&nmid=0" border="0" src="http://images.fariedkurniadi.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Sc2ctgoKCtgAAB7i5nk1/today-13.JPG?et=TVJTgb99ChKUBhAh1hytrA&nmid=0" /></a></div>Syukron. Seringkali tidur saat jam pelajaran. Dengan kitab terbuka dan kepala menunduk seakan-akan ia sedang mendalaminya. Apalagi jam Musyawarah malam hari, yang berakhir pukul 22.00. Hampir setiap Musyawarah ia tidur. Tentu setelah menghabiskan 2 batang <i>lintingan</i> (rokok buatan tangan sendiri, dibuat secara sederhana).<br />
<br />
Seperti juga malam ini. Setelah menghabiskan 2 <i>lintingan</i>, ia membuka kitabnya. Bukan untuk mempelajarinya, melainkan untuk memantapkan aktingnya. Setelah pose dikira pas, ia tertidur.... Sialnya bagi dia, sang wali kelas ternyata sedang ber patroli malam ini. Sang wali kelas tentu pernah muda dan mungkin pernah melakukan hal serupa. Oleh karena itu, akting kacangan itu segera terbongkar. Beliau segera menyuruh santri yang lain untuk membangunkannya.<br />
<br />
Setelah digoyang goyang dan dipanggil panggil beberapa saat, akhirnya... Syukron terbangun... gelagapan...<br />
"Ada apa sih, maksudnya apa? gak tahu orang lagi enak tidur... nanti aja kalau ada Ustadznya...", dengan penglihatan yang masih kabur, Syukron mengumpat...<br />
"Wudlu... Wudlu...", perintah sang Ustadz. Dan tampaknya kali ini Syukron sudah cukup sadar untuk mendengar samar-samar suara Ustadz yang juga wali kelasnya itu. Diusahakannya matanya terbuka lebar-lebar dan tentu saja ia kaget.<br />
"<i>Ngapunten </i>pak..", Syukron meminta maaf...<br />
"Wes gak apa-apa... tapi sekarang Wudlu terus nanti pijat punggung saya, ya... wes... cepat Wudlu..."<br />
"<i>Geh,</i> pak...", syukron menurut dan kemudian segera menuju kolam untuk mengambil air Wudlu.<br />
<br />
Beberapa saat kemudian Syukron kembali ke tempat Musyawaroh dan setiba di sana sang Ustadz sedang menerangkan tentang suatu masalah yang kesulitan dipecahkan para santri. Sang Ustadz memberi kode dan Syukron segera memulai memijatnya...<br />
"Kok pelan amat...", Sang Ustadz mengomentari pijatan Syukron yang mungkin memang masih lemes karena bangun tidur.<br />
"<i>geh,</i> pak.", Syukron hanya <i>nggah nggeh nggah nggeh</i> saja.<br />
"Sampai jarum panjang di angka 12 ya...", perintah sang Ustadz...<br />
"Uhhh.... 15 menit...", secara reflek Syukron mengeluh... Saat itu memang jam 9 kurang 15 menit.<br />
"Walah... santri sekarang baru segitu saja mengeluh... <i> </i>", sang Ustadz kelihatan agak kecewa dengan keluhan santrinya itu. Padahal seingat dia, sewaktu dia menjadi santri, memijat ustadznya sampai berjam-jam itu sudah biasa... tapi kemudian beliau melanjutkan, "<i>yo wis</i> kalau gitu, lanjutkan pijatnya sampai jarum panjang di angka 13..."<br />
<br />
Deg... deg... wajah Syukron pucat... Ia perhatikan jam dinding di pojokan ruangan. Mana ada angka 13? Tapi terlanjur..... tak mungkin ia menunjukkan ia mengeluh untuk yang kedua kalinya di depan ustadznya itu... Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mencoba menata hatinya... IKhlas..... <i>Ta'dhim</i>....<br />
<br />
-----------------------------------<br />
Oktober yang panas. Sang Ustadz tersenyum. Sepertinya ia menikmati permainan ini. Doel yang ada di dekatnya bisa melihatnya bahwa sang Ustadz hanya bermain-main. Meski entah kapan sang Ustadz akan menghentikan permainannya... sejam lagi? dua jam lagi? Yang pasti sampai saat itu... Syukron harus terus mengeluarkan jurus pijatnya.... Bermimpi kalau-kalau benar ada angka 13 di tengah jam dinding itu...</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-9450497963264674022011-04-05T01:55:00.003-07:002011-04-05T02:01:57.351-07:00Ali dan Keikhlasan<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtqJ33sP-K_LmGvaORh4y9G0K-SIbeWqb1yClUv7Vx4VYQyVMW5FQGePO45bpo-Xx9fgJPV9OMoq1NGT-C6dfmqeMPgDH5dTzj3hho7In_wWURHf9l9OktHVfZ0wPHHcd5ifotxR7yLWzd/s1600/ikhlas.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtqJ33sP-K_LmGvaORh4y9G0K-SIbeWqb1yClUv7Vx4VYQyVMW5FQGePO45bpo-Xx9fgJPV9OMoq1NGT-C6dfmqeMPgDH5dTzj3hho7In_wWURHf9l9OktHVfZ0wPHHcd5ifotxR7yLWzd/s1600/ikhlas.jpg" border="0" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtqJ33sP-K_LmGvaORh4y9G0K-SIbeWqb1yClUv7Vx4VYQyVMW5FQGePO45bpo-Xx9fgJPV9OMoq1NGT-C6dfmqeMPgDH5dTzj3hho7In_wWURHf9l9OktHVfZ0wPHHcd5ifotxR7yLWzd/s320/ikhlas.jpg" width="320" /></a>Jikalau diadakan lomba cerdas cermat santri, mungkin semua orang tak akan terpikirkan untuk meliriknya. Ali. Teman Hasyim (pernah muncul di catetan Sawo I'm in Love: <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=480055585171" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=480055585171</a>). Ia bukanlah orang yang menonjol di kelas karena kepintarannya. Ia nunggak beberapa kali. Bertahun-tahun ia jalani di tingkat pertama. Ia bukanlah seseorang yang bisa membaca kitab dengan lancar. Ia bukanlah seseorang yang pandai menghafal.<br />
<br />
Jikalau diadakan lomba basket antar santri, mungkin juga semua orang tak akan meliriknya. Ia pendek dan ia tak mengenal segala macam bentuk olahraga. Dan jujur, mungkin ia tak tahu basket. Ia tak pandai melompat dan ia tak pandai melempar. Ia tak tahu berapa jumlah pemain basket dan ia tak tahu seperti apa bola basket.<br />
<br />
Jikalau ada pameran busana muslim, mungkin ia hanya akan menjadi pilihan terakhir. Ia hitam dan ia bukan tipe kebanyakan perempuan masa sekarang. Ia 'seikit' jorok dan kurang menjaga kebersihan. Atau mungkin memang ia tak punya cukup sabun dan pakaian yang bersih.<br />
<br />
Tapi itu sekarang....<br />
Besok entah apa yang akan ia dapatkan...<br />
<br />
Saya ngeri memikirkan Ali... ngeri betapa ia bisa mencapai suatu titik yang dinamakan ke 'ikhlasan'. Paling tidak itu penilaian saya terhadap dirinya dibandingkan saya yang masih menyimpan sejuta pamrih.<br />
<br />
Saya ngeri jika harus mengingat kepatuhannya pada gurunya. Dulu ia mesti naik sepeda bersama kakaknya, bergantian mengayuh. Dari pondok utama ke pondok cabang yang baru dibangun yang berjarak tak kurang dari 20 Km. Di daerah pedesaan pesisir pantai yang dingin di saat pagi dan malam. Pagi-pagi telah sampai di pondok utama sekitar jam 7 dan sudah berangkat lagi menuju pondok cabang setelah Dzuhur. Di tengah terik... Itu dilakukannya setiap hari...<br />
<br />
Saya ngeri jika mengingat ia pernah juga mendapat tugas menangani sapi gurunya. Memberinya makan dan membersihkan kotorannya. Bertempat tinggal se atap dengan sapi-sapi yang ia rawat. Di gubug kecil yang ia bangun di loteng kandang. Tidur dan makan di sana. Di tengah bau dan di tengah sepi...<br />
<br />
Saya ngeri melihat kebulatan tekadnya meski ia selalu mendapat hukuman. Hampir setiap hari ia dihukum karena tak bisa hafalan... karena tak bisa membaca kitab... karena tak mendapat nilai bagus di Thaamrinan.<br />
<br />
Ia memang tak bisa menulis kaligrafi... ia juga tak mahir menulis arab pegon atau arab miring... ia memaknai kitabnya dengan tulisan latin biasa yang ia buat miring... yang kadang ia tak bisa membaca sendiri tulisannya...<br />
<br />
Tapi Ali... senyum itu selalu ada di wajahmu...<br />
Tapi Ali... itu sekarang...<br />
Besok aku tak tahu apa yang akan kau dapatkan karena keikhlasanmu...</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-32281524099225195832011-04-05T01:54:00.001-07:002011-04-05T02:02:47.212-07:00Gila Sawo<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div><a href="http://www.daleysfruit.com.au/my/l/2046/sapodilla-sawo-manila.jpg?PHPSESSID=e5ea3e217ea1aa2209b1d14fab0bf9a1" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="http://www.daleysfruit.com.au/my/l/2046/sapodilla-sawo-manila.jpg?PHPSESSID=e5ea3e217ea1aa2209b1d14fab0bf9a1" border="0" height="150" src="http://www.daleysfruit.com.au/my/l/2046/sapodilla-sawo-manila.jpg?PHPSESSID=e5ea3e217ea1aa2209b1d14fab0bf9a1" width="200" /></a>Ilmi. Seorang santri yang lumayan pendiam dan rajin. Tak ada yang bisa mengganggu konsentrasinya saat madrasah ataupun musyawaroh... kecuali..... bunyi <i>gedebuk</i> sawo yang jatuh dari pohonnya...<br />
<br />
Setelah madrasah selesai, hal yang pertama dilakukannya adalah mendatangi pohon sawo dan mencari buah yang jatuh itu. Lebih parah lagi jika saat Musyawaroh. Bunyi gedebuk berarti adalah sinyal bagi dia untuk berlari saat itu juga karena tak ada ustadz yang menunggui. Saking terobsesinya dengan sawo, ia jadi mudah sekali ditipu santri lain yang usil membuat suara mirip buah sawo yang jatuh. Ilmi akan segera beralri... tengak-tengok mencari <i>si buah sawo...</i><br />
<br />
Pernah suatu malam, sekitar jam satu malam, salah satu ustadz pondok yang kebetulan jaga<i> </i>ketakutan karena ia meliahat kaki bergelantungan di pohon sawo. Dibangunkannya ustadz yang lain dan akhirnya bersama dengan ustadz yang lain ia mengecek pohon sawo tersebut. <i>Dan ternyata...</i> Ilmi lah yang ada di atas pohon itu sedang memetik sawo...<br />
<br />
Sang ustad menyuruh Ilmi turun. Dengan beberapa sawo di tangannya, Ilmi dengan santai berkata, "habisnya laper pak, gak ada yang turun, ya saya yang naik...."<br />
<br />
Dasar gila sawo...</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-81406953972076145692011-04-05T01:53:00.001-07:002011-04-05T01:53:34.311-07:00Kececer...<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Jaman dahulu orang masih mengandalkan kayu bakar, dan untuk mencari kayu bakar kadang harus masuk hutan. Jaman sekarang di jaman serba gas pun masih juga ada yang berhemat dengan kayu bakar... apalagi kalau bukan <em>'kantin pondok''</em>. Menggunakan kayu bakar memang relatif lebih murah dan juga aman karena yang menggunakan bukan hanya <em>operator</em> kantin tapi juga para santri...<br />
<br />
Kayu bakar biasa dikirim sebulan sekali dengan pick up tua mbah Kyai... tapi kalau ternyata kiriman kayu itu telat, maka terpaksa pengurus kantin mengambil kayu bakar dengan <em>geledekan</em> (gerobak) di tempat gergaji yang berjarak sekitar satu kilometer. Bahkan kadang kalau sudah kehabisan seperti ini, malam-malam pun menjadi lumrah untuk mengambil kayu bakar...<br />
<br />
Sofian, salah satu santri baru tapi sudah dipercaya menjadi salah satu operator kantin pernah mengalaminya. Ketika mendapat giliran jaga malam, kayu bakar habis. Untuk kejar target pemasukan harian tentu saja ia harus segera mengambil kayu bakar sebelum kehabisan. Karena seorang lagi harus <em>stand by</em> di kantin, maka ia berangkatlah sendiri malam itu. Menempuh perjalan darat bersama gerobaknya untuk mengambil kayu bakar...<br />
<br />
Tak disangka, pekerjaan angkut kayu pertamanya ini ternyata melelahkan juga... Sampai tempat gergajian itu saja ia sudah ngos-ngosan apalagi saat kembali nanti dengan beban dua kali lipat. Namun sudah terlanjur, ia tak bisa kembali lagi dengan tangan kosong. Dimasukannya kayu-kayu bakar itu ke dalam gerobaknya hingga penuh... Kemudian itu berniat beristirahat sebentar sebelum kembali ke pondok.<br />
<br />
Istirahat itu menjadi sesuatu yang sangat nikmat di tengah rasa lelahnya hingga akhirnya dia kebalabasan. Saat terbangun, ia segera menarik gerobak berisi kayu itu menuju pondok. Sadar ia tadi ketiduran, dia menekan gas polll meski nafas ngos-ngosan... Sekitar lima belas menit kemudian ia sudah tiba di Pondok... Ngos-ngosannya bertambah, maklum jalanan pulang menanjak... Diletakkannya gerobaknya di samping kantin... Dan ketika ia masuk kantin, ternyata kantin sudah sepi... Mungkin karena kayu bakar telah habis... Melihat kantin sudah sepi, ia memutuskan untuk melanjutkan tidurnya... Dan malam itu dia tidur <em>ngorooook....</em><br />
<br />
Pagi-pagi sekali setelah subuh, petugas jaga pagi kantin berniat memasak nasi... ia cari kayu ternyata habis, kemudian ia cek kesamping kantin dan ia temukan beberapa kayu bakar di gerobak... Dibangunkannya sofian<br />
"Yan, kayu bakarnya habis lagi ya?"<br />
Sofian yang masih ngantuk menjawab, "Itu ambil di samping kantin, aku habis ngambil tadi malem..."<br />
"La. ini udah... tapi hanya sedikit..."<br />
"Gerobaknya penuh kok..."<br />
"Yo wis ayo kita lihat wae...", Sofian di geret temannya untuk pergi ke sebelah kantin...<br />
<br />
Sofian kaget ketika melihat ke sebelah ternyata gerobaknya kosong... Beberapa meter dari gerobak terlihat kayu yang kececer... Dengan tergesa-gesa ia mencari kopiahnya yang mungkin ketriwal saat dia tidur... Ia tarik lagi gerobak kosong itu kemudian berjalan melewati rutenya tadi malem... Sepanjang jalan... ia dapati kayu bakar kececeran di tanah... Terpaksa pagi-pagi sekali ia harus mengumpulkan lagi kayu bakar yang tadi malam ternyata kececer di jalan.....<br />
<br />
Pengalaman buruk pertamanya sebagai operator kantin... Sepertinya masih akan terus berlanjut, karena mbah kyai belum berniat <em>mencopot</em> jabatannya...</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-38055851710427108552011-04-05T01:52:00.001-07:002011-04-05T01:52:26.136-07:00Awas Kejlungup...<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Pas hari raya iedul Fitri, biasanya santri putra dan putri akan sowan ke rumah keluarga Ponpes. Termasuk ke rumah Doel. Biasanya juga jika menjelangg iedul fitri, Ayah Doel memanggil orang untuk menyemir tegelnya. Merk semirnya M.A.A. Dijamin super licin. Instruksinya kepada si tukang semir, "Harus mengkilat dan benar-benar licin..."<br />
<br />
Santri putra biasanya sowan di ruang tamu yang dekat dengan pintu depan... Jadi tidak perlu <em>nggesot-nggesot</em> karena suddah langsung disambut oleh Ayah Doel. Biasanya hanya antri bersalaman dan <em>umik-umik</em> yang sangat lirih. Ayah Doel sendiri menjawabnya sesuai dengan santri. Jika lirih ikut lirih, jika jelas ikut jelas hehehe...<br />
<br />
Beda lagi dengan santri putri yang harus menemui ibu Doel di ruang tengah. Biasanya mereka sudah berderet-deret ngantri di depan pintu rumah... Kemudian satu-satu melewati ruang tamu menuju ruang tengah... <em>Nah,</em> Ayah Doel biasanya sengaja <em>stand by</em> di ruang tamu, sehingga para santri putri harus sudah <em>nggesot</em> (berjalan pake lutut) dan menunduk sejak di ruang tamu. Jaraknya lumayan sekitar 7 meteran.<br />
<br />
Karena lantai yang sangat licin itu, biasanya banyak kejadian lucu dan banyak mbak-mbak yang kepleset bahkan ada yang sampai menubruk ibu Doel. Karuan saja banyak yang salah tingkah apa lagi dilihat oleh Ayah Doel... Sementara ayah Doel sendiri cuma bisa menahan tawa, karena memang ia yang merencanakannya...<br />
<br />
"Lumayan, Ada hiburan... hehehe", Ayah Doel terkekeh pada suatu kesempatan ngobrol dengan Doel...<br />
<br />
Tahun-tahun terakhir tampaknya telah ada peringatan sejak awal "Awas Kejlungup..." yang disebarkan pengurus pondok putri... Terbukti banyak yang mengusp usap tegel dahulu untuk mengetes kelicinannya... Tentunya mbak-mbak pondok ini gak mau sampai malu lagi menubruk orang yang mereka sowani...<br />
<br />
Bisa-bisa... Kalau kejlungupnya parah, Jariknya malah sembret.... Asyikkkkkk hahaha</div></div>MbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8887229912083244055.post-6735025904643703372011-04-05T01:51:00.000-07:002011-04-05T01:51:03.593-07:00Ada Apa Dengan Papan Tulisnya, Mas?Soal hukuman. Pesantren adalah tempat hukuman super kreatif dan aneh. Salah satunya yang diaalami Nawa. Santri berkulit gelap yang masih tingkat 2.<br />
<br />
<br />
Hari rabu, seperti biasa ada pengajian rutin di Pesantren. Jadi pondok akan sangat ramai sekali. Makanya bersedihlah yang mendapat hukuman pada hari ini karena rasa malunya bertumpuk akibat disaksikan ratusan pasang mata, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua.<br />
<br />
<br />
Nawa. Bangunnya agak kesiangan. Walaupun hanya 'agak' tapi itu sudah cukup membuatnya berada di urutan paling belakang antrian mandi. Akibatnya terlambatlah ia masuk ke kelas Jurumiyah pagi itu. Padahal yang mengajar adalah ustadz kawakan bekas ketua keamanan pondok yang tentunya super tugas dan tak tolerir waktu...<br />
<br />
<br />
Akhirnya ia tak bisa lari dan akan tetap menerima hukuman.<br />
<br />
"<i>Geh pun</i>, langsung saja berdiri di sana", Ustadznya memerintah, kemudian menambahkan, "Posisi siap, menghadap papan tulis... jarak mata gak boleh lebih dari 30 cm..."<br />
<br />
<br />
Pemandangan itu awalnya tampak biasa saja, seperti seorang santri yang maju untuk mengerjakan tugas menulis di papan tulis. Tapi jika diperhatikan, dengan jarak sedekat itu dan dengan posisi siap... apalagi selama hampir setengah jam papan tulis tetap kosong... akhirnya banyak timbul tawa dari santri ataupun para hadirin pengajian... dan beberapa yang gak sadar akan timbul pertanyaan...<br />
<br />
<br />
<br />
"Ada apa dengan papan tulisnya Mas?"<br />
<br />
<br />
Ditambah Nawa yang terus berkedip karena mungkin pegel harus menatap warna hitam itu terus dalam jarak tak lebih dari 30 cm..... welehhhhMbahDoyokhttp://www.blogger.com/profile/17415677888745046033noreply@blogger.com0