Selasa, 05 April 2011

Ali dan Keikhlasan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtqJ33sP-K_LmGvaORh4y9G0K-SIbeWqb1yClUv7Vx4VYQyVMW5FQGePO45bpo-Xx9fgJPV9OMoq1NGT-C6dfmqeMPgDH5dTzj3hho7In_wWURHf9l9OktHVfZ0wPHHcd5ifotxR7yLWzd/s1600/ikhlas.jpgJikalau diadakan lomba cerdas cermat santri, mungkin semua orang tak akan terpikirkan untuk meliriknya. Ali. Teman Hasyim (pernah muncul di catetan Sawo I'm in Love: http://www.facebook.com/note.php?note_id=480055585171). Ia bukanlah orang yang menonjol di kelas karena kepintarannya. Ia nunggak beberapa kali. Bertahun-tahun ia jalani di tingkat pertama. Ia bukanlah seseorang yang bisa membaca kitab dengan lancar. Ia bukanlah seseorang yang pandai menghafal.

Jikalau diadakan lomba basket antar santri, mungkin juga semua orang tak akan meliriknya. Ia pendek dan ia tak mengenal segala macam bentuk olahraga. Dan jujur, mungkin ia tak tahu basket. Ia tak pandai melompat dan ia tak pandai melempar. Ia tak tahu berapa jumlah pemain basket dan ia tak tahu seperti apa bola basket.

Jikalau ada pameran busana muslim, mungkin ia hanya akan menjadi pilihan terakhir. Ia hitam dan ia bukan tipe kebanyakan perempuan masa sekarang. Ia 'seikit' jorok dan kurang menjaga kebersihan. Atau mungkin memang ia tak punya cukup sabun dan pakaian yang bersih.

Tapi itu sekarang....
Besok entah apa yang akan ia dapatkan...

Saya ngeri memikirkan Ali... ngeri betapa ia bisa mencapai suatu titik yang dinamakan ke 'ikhlasan'. Paling tidak itu penilaian saya terhadap dirinya dibandingkan saya yang masih menyimpan sejuta pamrih.

Saya ngeri jika harus mengingat kepatuhannya pada gurunya. Dulu ia mesti naik sepeda bersama kakaknya, bergantian mengayuh. Dari pondok utama ke pondok cabang yang baru dibangun yang berjarak tak kurang dari 20 Km. Di daerah pedesaan pesisir pantai yang dingin di saat pagi dan malam. Pagi-pagi telah sampai di pondok utama sekitar jam 7 dan sudah berangkat lagi menuju pondok cabang setelah Dzuhur. Di tengah terik... Itu dilakukannya setiap hari...

Saya ngeri jika mengingat ia pernah juga mendapat tugas menangani sapi gurunya. Memberinya makan dan membersihkan kotorannya. Bertempat tinggal se atap dengan sapi-sapi yang ia rawat. Di gubug kecil yang ia bangun di loteng kandang. Tidur dan makan di sana. Di tengah bau dan di tengah sepi...

Saya ngeri melihat kebulatan tekadnya meski ia selalu mendapat hukuman. Hampir setiap hari ia dihukum karena tak bisa hafalan... karena tak bisa membaca kitab... karena tak mendapat nilai bagus di Thaamrinan.

Ia memang tak bisa menulis kaligrafi... ia juga tak mahir menulis arab pegon atau arab miring... ia memaknai kitabnya dengan tulisan latin biasa yang ia buat miring... yang kadang ia tak bisa membaca sendiri tulisannya...

Tapi Ali... senyum itu selalu ada di wajahmu...
Tapi Ali... itu sekarang...
Besok aku tak tahu apa yang akan kau dapatkan karena keikhlasanmu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar